Jumat, 18 Oktober 2013

Pola Pemboran Surface Blasting

Pemboran merupakan kegiatan yang pertama kali dilakukan dalam suatu operasi peledakan batuan. Kegiatan ini bertujuan untuk membuat sejumlah lubang ledak yang nantinya akan diisi dengan sejumlah bahan peledak untuk diledakkan. Bukan hanya untuk pembuatan lubang ledak tetapi pemboran memiliki fungsi lain seperti pengumupulan data sebaran cadangan. Karena pentingnya kegiatan pemboran maka perlu adanya materi yang menjelaskan tetang pemboran serta segala sesuatu yang ada di dalam kegiatan pemboran secara terperinci sebagai bahan pembantu atau penuntun dalam melakukan kegiatan pemboran.
Pemboran geotek adalah untuk menentukan karakteristik tanah dan batuan, dalam beberapa hal digunakan untuk memperoleh informasi tentang kondisi alami dan posisi muka air tanah. Pemboran kontruksi adalah untuk menetukan batas antara batuan dasar (base meaf) dan batuan diatas yang umumnya sudah mengalami deformasi pelapukan. Sistem pemboran berdasarkan dengan tingkat keterapannya dibagi menjadi 8 (delapan) macam yaitu :
1.             Mekanik             : Perkusif, Rotari, Rotari-Perkusif
2.             Termal               : Pembakaran, Plasma, Cairan Panas, Pembekuan
3.             Hidroulik            : Pancar (Jet), Erosi, Cavitasi
4.             Sonik                 : Vibrasi Frekuensi Tinggi
5.             Kimiawi              : Microblast, Disolusi
6.             Elektrik             : Elektric Arc, Induksi Magnetis
7.             Seismik              : Sinar Laser
8.             Nuklir                 : Fusi, Fisi
Meskipun banyak sistem pemboran yang dapat dipilih, kegiatan pemboran untuk penyediaan lubang ledak pada saat ini umumnya dilakukan dengan mesin sistem mekanik (perkusif, rotari, dan rotari-perkusif) dengan berbagai ukuran dan kemampuan, tergantung pada kapasitas produksi yang diinginkan yang didasarkan pula pada pertimbangan teknik dan ekonomi, sistem pemboran secara mekanik lebih applicable dari pada sistem pemboran yang lain. Oleh sebab itu maka sangat penting untuk mengetahui produktivitas alat bor untuk pembuatan lubang ledak untuk masing-masing jenis batuan,sehingga di peroleh hasil yang maksimal dalam proses produksi. Pemboran memiliki banyak fungsi antara lain explorasi tubuh bijih, informasi stratigrafi, survey seismik (pembacaan gelombang pada batuan), verifikasi interpretasi geofisika dan geokimia, kontrol kadar bijih, perhitungan cadangan bijih, dan deskripsi tubuh bijih (penyebaran, bentuk, butir dll).
Sifat batuan yang berpengaruh pada penetrasi dan sebagai konsekuensi pada pemilihan metode pemboran yaitu : kekerasan, kekuatan, elastisitas, plastisitas, abrasivitas, tekstur, struktur, dan karakteristik pembongkaran.
·                Kekerasan
Kekerasan adalah daya tahan permukaan batuan terhadap goresan. Batuan yang keras akan memerlukan energy yang besar untuk menghancurkanya. Pada umumnya batuan yang keras mempunyai kekuatan yang besar pula. Kekerasan batuan diklasifikasikan dengan skala Fredrich Van Mohs (1882).
·                Kekuatan (strength)
Kekuatan mekanik suatu batuan merupakan daya tahan batuan terhadap gaya dari luar, baik bersifat static maupun dinamik. Kekuatan batuan dipengaruhi oleh komposisi mineralnya, terutama kandungan kuarsa. Batuan yang kuat memerlukan energi yang besar untuk menghancurkanya.



·                Bobot isi / Berat jenis
Bobot isi (density) batuan merupakan berat batuan per satuan volume. Batuan dengan bobot isi yang besar untuk membongkarnya memerlukan energi yang besar pula.
·                Kecepatan Rambat Gelombang Seismik
Batuan yang masif mempunyai kecepatan rambat gelombang yang besar. Pada umumnya batuan yang mempunyai kecepatan rambat gelombang yang besar akan mempunyai bobotisi dan kekuatan yang besar pula sehingga sangat mempengaruhi pemboran.
·                Abrasivitas
Abrasivitas adalah sifat batuan yang dapat digores oleh batuan lain yang lebih keras. Sifat ini dipengaruhi oleh kekerasan butiran batuan, bentuk butir, ukuran butir, porositas batuan, dan sifat heterogenitas batuan.
·                Tekstur
Tekstur batuan dipengaruhi oleh struktur butiran mineral yang menyusun batuan tersebut. Ukuran butir mempunyai pengaruh yang sama dengan bentuk batuan, porositas batuan, dan sifat-sifat batuan lainya. Semua aspek ini berpengaruh dalam keberhasilan operasi pemboran.
·                Elastisitas
Sifat elastisitas batuan dinyatakan dengan modulus elastisitas atau modulus Young (E). Modulus elastisitas batuan bergantung pada komposisi mineral dan porositasnya. Umumnya batuan dengan elastisitas yang tinggi memerlukan energi yang besar untuk menghancurkannya.
·                Plastisitas
Plastisitas batuan merupakan perilaku batuan yang menyebabkan deformasi permanen setelah tegangan dikembalikan ke kondisi awal, dimana batuan tersebut belum hancur. Sifat ini sangat dipengaruhi oleh komposisi mineral penyusunya, terutama kuarsa. Batuan yang plastisitasnya tinggi memerlukan energi yang besar untuk menghancurkannya.
·                Struktur Geologi
Struktur geologi seperti sesar, kekar, dan bidang perlapisan akan berpengaruh terhadap peledakan batuan. Adanya rekaha-rekahan dan rongga-rongga di dalam massa batuan akan menyebabkan terganggunya perambatan gelombang energy akibat peledakan. Namun adanya rekahan-rekahan tersebut juga sangat menguntungkan untuk mengetahui bidang lemahnya, sehingga pemboran akan dilakukan berlawanan arah dengan bidang lemahnya.
Drilabilitas batuan adalah kecepatan penetrasi rata-rata mata bor terhadap batuan. Nilai drilabilitas ini diperoleh dari hasil pengujian terhadap toughness berbagai tipe batuan oleh sievers dan furby. hasil pengujian mereka memperlihatkan kesamaan nilai penetration speed dan net penetration rate untuk tipe batuan yang sejenis. Baik buruknya hasil peledakan akan sangat ditentukan oleh mutu lubang bor. “Mutu” lubang bor dalam hal ini ditinjau dari segi keteraturan tata letak lobang bor, penyimpangan arah dan sudut pemboran, dan kedalaman dan kebersihan lobang bor.
Alat yang sudah lama digunakan biasanya dalam kegiatan pemboran, kemampuan mesin bor akan menurun sehingga sangat berpengaruh pada kecepatan pemboran. Umur mata bor dan batang bor ditentukan oleh meter kedalaman yang dicapai dalam melakukan pemboran. Untuk menilai kondisi suatu alat dapat dilakukan dengan mengetahui empat tingkat ketersediaan alat, yaitu:
·                Ketersediaan Mekanik (Mechanical Availability, MA)
Ketersediaan mekanik adalah suatu cara untuk mengetahui kondisi mekanik yang sesungguhnya dari alat yang digunakan. Kesediaan mekanik (MA) menunjukkan ketersediaan alat secara nyata karena adanya waktu akibat masalah mekanik. Persamaan dari ketersediaan mekanik adalah
MA =  W x R 100%
Keterangan:
W =  Jumlah jam kerja alat, yaitu waktu yang dipergunakan oleh operator untuk melakukan kegiatan pemboran.
R  =  Jumlah jam perbaikan, yaitu waktu yang dipergunakan untuk perbaikan dan waktu yang hilang akibat menunggu saat perbaikan termasuk juga waktu penyediaan suku cadang serta waktu perawatan.
·                Ketersediaan Fisik (Physical Availability, PA)
Ketersediaan fisik menunjukkan kesiapan alat untuk beroperasi didalam seluruh waktu kerja yang tersedia. Persamaan dari ketersediaan fisik adalah :
PA = S x (W+R+S) x 100%
Keterangan:
S                      =  Jumlah jam siap yaitu jumlah jam alat yang tidak dipergunakan        padahal alat tersebut siap beroperasi.
(W+R+S)        =  Jumlah jam tersedia, yaitu jumlah seluruh jam jalan atau jumlah jam  kerja yang tersedia dimana alat dijadwalkan untuk beroperasi.
          Keteraturan tata letak lobang bor. Tujuan pemboran adalah untuk meletakkan bahan peledak pada posisi (tempat) yang sudah direncanakan.
Setiap bantuan akan memberi reaksi (respon) yang berbeda terhadap peledakan. Reaksi ini bervariasi sangat luas dan dipengaruhi oleh banyak faktor diantaranya : Perlapisan, Struktur geologi alamiah dan lain-lain yang selalu berobah dari titik ke titik. Tidaklah mungkin untuk menyusun suatu pola peledakan yang dapat mengakomodasi semua variasi itu. Untuk itu, didalam prakteknya, lobang-lobang bor dirancang dengan pola yang teratur, sedemikian rupa sehingga bahan peledak dapat terdistribusi secara merata dan dengan demikian, setiap kolom bahan peledak akan mempunyai beban yang sama.
          Penyimpangan arah dan sudut pemboran. Hal ini perlu dicermati terutama pada pemboran miring . Pada pemboran miring maka posisi alat bor akan sangat menentukan. Walaupun tata letak lobang bor dipermukaan sudah sempurna, namun bila posisi alat bor tidak benar-benar sejajar dengan posisi alat bor pada lobang sebelumnya maka dasar (ujung) lobang bor akan menjadi tidak teratur. Hal yang sama akan dihasilkan bila sudut kemiringan batang bor juga tidak sama. Penyimpangan arah dan sudut pemboran dipengaruhi oleh struktur batuan, keteguhan (stiff ness) batang bor, kesalahan collaring (awal pemboran) kesalahan posisi alat bor.
          Kedalaman dan kebersihan lobang.Lantai (permukaan) bor biasanya tidak rata dan datar sehingga kedalaman lobang bor juga tidak akan seluruhnya sama. Untuk itu area yang akan dibor sebaiknya disurvey dulu agar kedalaman masing-masing lobang bor dapat ditentukan. Pola pemboran tambang terbuka umumnya dapat digolongkan atas dua bagian besar yaitu rectangular (persegi), staggered (selang seling).
·               
Rectangular

Pada pola rectangular, lobang ditata sedemikian rupa sehingga setiap lobang berada tepat berada dibelakang lobang pada row sebelumnya.


 








Gambar 3.1
Pola Rectanguler

·                Staggered
Pada pola staggered, setiap lobang ditempatkan diantara dua lobang pada row sebelumnya. Pola ini merupakan pola yang sangat baik dalam hal distribusi bahan peledak.








Gambar 3.2
Pola Staggered

Pemboran lobang ledak dilakukan secara tegak atau menyudut / miring (terhadap horizon). Masing-masing lobang bor ini mempunyai keuntungan dan kerugian. Ditinjau dari segi peledakan maka lobang miring mempunyai beberapa keunggulan dari lobang tegak diantaranya : tumpukan material lebih baik (tidak menyebar), back break akan berkurang, ground vibration lebih kecil, biaya peledakan akan lebih murah karena burdennya lebih besar. Kelemahan terbesar dari pemboran miring adalah kemungkinan terjadi penyimpangan arah dan sudut pemboran sangat besar. Semakin tinggi jenjangnya maka penyimpangan yang terjadi akan lebih besar.
Pemilihan diameter lubang bor tergantung pada tingkat produksi yang diinginkan. Dengan lubang bor yang lebih besar, lebih besar pula tingkat produksi yang dihasilkan. Untuk kontrol desain dengan hasil fragmentasi yang bagus, menurut pengalaman, diameter lubang bor harus berkisar antar 0,5 – 1% dari tinggi jenjang.

D = 5 – 10 K


Dimana : d = diameter lubang bor (mm)
                K = tinggi jenjang (m)
Pemakaian lubang bor kecil pada kondisi batuan yang sangat berjoint akan menghasilkan fragmentasi yang baik dari pada lubang bor yang besar. Pada permukaan tiap-tiap joint terdapat reflaksi gelombang ledak yang dihasilkan oleh proses peledakan, karena bisa berfungsi sebagai free face.
Secara spesifik tinggi jenjang maksimum ditentukan oleh peralatan lubang bor dan alat muat yang tersedia. Ketinggian jenjang disesuaikan dengan kemampuan alat bor dan diameter lubang. Lebih tepatnya, jenjang yang rendah dipakai diameter lubang kecil, sedangkan diameter bor besar untuk jenjang yang tinggi (gambar 3.3) memberikan ilustrasi tentang beberapa faktor dalam penentuan tinggi jenjang sehubungan dengan diameter lubang bor.

Gambar 3.3
Hubungan Diameter Lubang Bor dengan Ketinggian Jenjang

Secara praktis hubungan diantara lubang bor dengan ketinggian jenjang dapat diformulasikan sbb :

K = 0.1 – 0.2 d

Dimana : K = Tinggi Jenjang (m)
                d =  diameter Lubang Bor (mm)

Ada 4 hal yang harus diperhatikan dalam pemboran yaitu burden, spasing, subdrilling, dan stemming :

·                Burden (B)
Burden dapat didefinisikan sebagai jarak dari lubang bor ke bidang bebas (free face) yang terdekat pada saat terjadi peledakan. Peledakan dengan jumlah baris (row) yang banyak, true burden tergantung penggunaan bentuk pola peledakan yang digunakan. Bila peledakan digunakan delay detonator dari tiap-tiap baris delay yang berdekatan akan menghasilkan free face yang baru.
Burden merupakan variabel yang sangat penting dan dalam mendesain peledakan. Dengan jenis bahan peledak yang dipakai dan batuan yang dihadapi, terdapat jarak maksimum burden agar peledakan sukses (Gambar 3.4) memberikan ilustrasi efek variasi jarak dengan jumlah bahan peledak formasi yang sama. Jarak burden juga sangat erat hubungannya dengan besar kecilnya diameter lubang bor yang digunakan. Secara garis besar jarak burden optimum biasanya terletak diantara 25 – 40 diameter lubang, atau

B = 25 – 40 d


Dimana : B = Burden (mm)
                d = Diamater Lubang Bor (mm)

·                Spasing (S)

Spasing adalah jarak diantara lubang tembak dalam suatu row. Spasing merupakan fungsi dari pada burden dan dihitung setelah burden ditetapkan terlebih dahulu. Secara teoritis, optimum spasing (S) berkisar antar 1,1 – 1,4 burden (B) atau :

S = 1,1 – 1,8 B


Jika spacing lebih kecil dari pada burden cenderung mengakibatkan steaming ejection yang lebih dini. Akibatnya gas hasil ledakan dihamburkan ke atmosfer dibarengi dengan noise dan air blast. Sebaliknya jika spacing terlalu besar diantara lubang tembak fragmentasi yang dihasilkan tidak sempurna. Biasanya rata-rata S = 1,25 B.

·                Subdrilling (J)

Subdrilling adalah tambahan kedalaman dari pada lubang bor dibawah rencana lantai jenjang. Subdrilling perlu untuk menghindari problem tonjolan pada lantai, karena dibagian ini merupakan tempat yang paling sukar diledakkan. Dengan demikian, gelombang ledak yang ditimbulkan pada lantai dasar jenjang akan bekerja secara maksimum. Bila subdrilling berlebih akan menghasilkan excessive ground vibration. Bila subdrilling tidak cukup dapat mengakibatkan problem tonjolan pada lantai. Secara praktis subdrilling (J) dibuat antara 20 – 40% burden (B)

J = (0,2 – 0,4) X B

 

·                Stemming (S)

Stemming adalah tempat material penuntup di dalam lubang bor diatas. Kolom isian, bahan peledak. Stemming berfungsi untuk mengurung gas ledakan. Ukuran stemming (S) yang diperlukan tergantung jarak burden (B) dan biasanya dibuat :

S = (0,7 – 1) X B



Tidak ada komentar :

Posting Komentar